Indonesia, SuaraRakyat62.com – Dugaan eksploitasi anak merebak. Bau jerami basah menyelinap di antara sorotan lampu pertunjukan. Raungan singa dan sorak tawa penonton menyatu, menutupi luka lama yang belum sembuh. Di balik kemewahan Taman Safari Indonesia, berdiri tenda kenangan kelam yang nyaris terkubur waktu.

Vivi Nurhidayah duduk di sebuah ruang kecil, menatap kosong selembar kertas, surat pengaduan ke Komnas HAM yang telah ia tulis sejak dua dekade lalu. Di sisinya, Lisa, Butet, dan Eva, sesama mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI), berbagi kisah luka yang sama. Mereka bukan pesulap atau akrobat semata. Mereka adalah anak-anak yang pernah direnggut dari keluarga, dilatih dengan kekerasan, dan tumbuh tanpa nama. “Saya enggak tahu siapa orang tua saya,” bisik Vivi, dikutip dari video berjudul “BI4DAB!! HIDUP SEPERTI BUDAK DI SIRKUS OCI TAMAN SAFARI?!” di kanal YouTube dr. Richard Lee, yang diunggah pada Jumat, 19 April 2025. Kalimat itu menggantung, seperti lampu sirkus yang meredup perlahan.
Oriental Circus Indonesia, pendahulu Taman Safari, didirikan pada 1970-an oleh tiga bersaudara: Frans Manansang (Fran), Yansen, dan Toni. Anak-anak seperti Vivi direkrut dari jalanan dan dibesarkan di rumah Petojo, Jakarta, tanpa akta lahir atau akses pendidikan. Latihan berlangsung kejam. “Kalau gagal, enggak dikasih makan,” kata Vivi. Mereka dipaksa menguasai akrobat, sulap, dan balet tali. Yansen bahkan pernah berkata, “Harga kalian lebih murah dari macan putih.” Macan itu, menurut catatan, bernilai miliaran rupiah.
Sejak 1997, Komnas HAM memantau kasus ini sebagai pelanggaran serius terhadap hak anak: kehilangan identitas, eksploitasi ekonomi, dan penyiksaan dalam pelatihan. Kekerasan dan Kekuasaan yang Membungkam Eva, kini tinggal dalam pelarian identitas, menceritakan kekerasan seksual yang ia alami. “Saya disuruh telanjang di depan Fran. Kalau nolak, dipukuli,” ujarnya lewat panggilan video. Luka di kakinya, bekas tusukan tutup botol saat mencoba kabur, masih membekas hingga kini.
Vivi pun mengalami kekerasan serupa. Saat hamil oleh sesama staf, ia dirantai dengan rantai gajah selama dua bulan dan tetap dipaksa tampil hingga usia kandungan delapan bulan. Anak perempuannya, Debi, kemudian dilatih untuk menjadi pemain sirkus baru. “Teman saya diperkosa, hamil, lalu dipaksa nikah buat nutupin kasus,” kata Eva. Suaranya retak, tapi keberaniannya utuh.
Jalur hukum yang buntu
Meski sudah melapor ke Komnas HAM sejak 1997, proses hukum mandek. Polisi menghentikan penyidikan pada 22 Juni 1999, dengan alasan kurangnya bukti. Vivi bahkan mengaku tidak tahu apa itu visum. “Saya cuma pengin anak-anak disekolahkan, tahu orang tua mereka, dan dapat haknya.” Selama bertahun-tahun, kasus ini nyaris hilang ditelan waktu. Tak ada keadilan, tak ada tanggung jawab.
Kekuatan media sosial dan Seruan Baru
Desember 2024, kasus ini kembali hidup. Ari Seran Law Office melaporkan ulang ke Komnas HAM, menuntut ganti rugi Rp3,1 miliar. Cerita Vivi viral setelah dibagikan oleh kreator TikTok Cak Soleh, dengan tagar #BoikotTamanSafari menggema. “Kami enggak punya duit. Harapan kami cuma publik,” kata Vivi lirih. Tapi kini, suara mereka tak lagi sendiri. Pada 15 April 2025, para korban bertemu Wakil Menteri HAM Mugiyanto, yang berjanji akan mengumpulkan informasi lengkap, termasuk dari pihak Taman Safari Indonesia.
Lebih dari sekadar kompensasi, mereka ingin tahu siapa mereka. “Kalau saya mati, binti siapa di batu nisan saya?” ujar Vivi. “Saya takut, tapi saya mau speak up,” tambah Eva, yang bahkan menghapus tahi lalat untuk menyembunyikan identitas. Debi, anak Vivi, masih mencari siapa ayahnya. Trauma lintas generasi ini belum berakhir. Komnas HAM menyatakan eksploitasi anak dalam bentuk apa pun tak bisa ditoleransi. Proses hukum dan pemulihan identitas menjadi prioritas utama. Dalam waktu dekat, Komisi III DPR RI dijadwalkan memanggil Fran, Yansen, dan Toni. Ketika lampu sirkus padam, trauma para penyintas masih menyala. Dan kali ini, dunia sedang menonton.
Penulis ; Alfian Nawawi
Sumber ; Wartabulukumba.com
Editor ; Achmad SH