Suararakyat62.com – Kajian & Opini

Scroll Untuk Lanjut Membaca
BADEODA & HAMA TIKUS

BADEODA & HAMA TIKUS
[rinto namang]


Grup-grup whatsapp yang berisi aktivis dan politisi di kabupaten Ende berseliweran link-link berita tentang dugaan korupsi yang merugikan keuangan daerah. Ini tentu tidak mengagetkan, meskipun agak menghentak nurani dan akal sehat kita, serentak membuat banyak orang menjadi pesimis masa depan pembangunan di Ende, tapi begitulah watak kekuasaan: cenderung korup!

Kata-kata Lord Acton “power tends to corrupt” [kekuasaan itu cenderung korup] semakin relevan dengan kita. Makin seseorang berkuasa, makin ia korup dan dibusukkan [corrupted by] oleh kekuasaan itu. Kita tinggal tunggu waktu saja dan menjadi saksi bagaimana para politisi itu akan membusuk di penjara. Waktu akan menjawab satu per satu.

Rasanya wajar ketika sebagian terbesar orang menjadi pesimis dengan masa depan pembangunan di Ende mengingat masih ada para tikus [baca: koruptor] yang berkeliaran di Eltari [eksekutif dan legislatif]. Dalam sebuah perbincangan kecil di warung kopi dengan salah seorang politisi dari Ende, dia bilang begini: “wajar ade pejabat korupsi di Ende, mereka butuh makan, butuh bayar utang pinjaman di bank.”

Saya tidak terlalu kaget waktu dengar belio omong begitu, hanya agak pahit saja kopi yang saya seruput. Korupsi menjadi sesuatu yang dianggap “wajar” dan karena itu diterima sebagai suatu kelaziman yang tak perlu dikoreksi. Paradigma politik sebagai sarana untuk melayani masyarakat, birokrasi sebagai sistem untuk mensejahterakan masyarakat, dijadikan sebagai lapak untuk mengakumulasi modal lewat praktek korupsi. Tragis!

“Apa guna punya ilmu kalau hanya untuk mengibuli?” [Widji Tukul]. Apa gunanya punya jabatan tinggi kalau hanya untuk mengibuli, korupsi, dan menindas?

Bupati Badeoda [2025-2030] mengeluhkan perilaku koruptif yang menggejala dan menggerogoti administrasi yang dipimpinnya itu. Dalam pengakuannya ia mengutarakan bahwa Pemda Ende sedang mengalami defisit anggaran karena “kondisi PAD kecil [akibat tidak sesuai target], namun anehnya gaji dan tunjangan pimpinan dan anggota DPRD justru besar.”

Rupanya tunjangan dibayar pakai utang. Mengapa utang? Karena ada pos-pos anggaran tertentu diambil-alih untuk keperluan bayar tunjangan yang amat besar para anggota DPRD dan dana Pokir tanpa peduli terhadap PAD yang menipis.

Meminjam kata-kata Jokowi, mereka ini tidak punya empati dengan rakyat yang sedang menderita. Memang begitulah watak para politisi kita, sejauh menguntungkan dirinya, maka semuanya diembat, dibabat rata. Jika pos-pos yang menguntungkan dirinya itu “diganggu”, maka semua jalan akan ditempuh agar “status quo” itu jangan sampai hilang.

Dalam hal ini, saya rasa kita harus mendukung Bupati Badeoda untuk berani buka-bukaan sebagaimana pengakuannya. Kita sudah pilih dia, dan kita punya kewajiban moral untuk bekingi dia membersihkan hama tikus dari ruang-ruang tergelap birokrasi. Beking bukan asal beking tapi beking secara kritis.

Masyarakat mesti mendorong agar prosesnya cepat, terbuka, dan yang pastinya menyeret para tikus itu ke pengadilan. “Politik anggaran ini sudah berlangsung lama dan tidak berpihak kepada masyarakat. Kita harus berani memutus praktek ini,” ujar Badeoda.

Menyimak pernyataan Badeoda ini membuat kita sadar tentang satu hal: korupsi sudah berlangsung amat lama, berurat berakar terlalu dalam, dan pastinya tidak satu orang. Korupsi berjamaah. Sekarang tinggal kita tunggu saja apakah bupati Badeoda mau membongkar dan menyeret mereka semua ke pengadilan atau tidak? Ini beban sekaligus tantangan yang berat karena melawan mafia anggaran memang tidak gampang.

Bupati Badeoda tidak sendiri. Di belakang dia ada masyarakat sipil yang kritis mengawal dan mendukung. Ada Gereja juga yang lagi memerangi penyakit yang merugikan masyarakat. HAJAR, Pak Bupati!


Penulis ; Rinto Namang