Jakarta, SuaraRakyat62 – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan bahwa tersangka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, diduga menerima suap sebesar Rp 60 miliar.

Arif ditersangkakan bersama pengacara korporasi Marcella Santoso (MS), Panitera Muda PN Jakut Wahyu Gunawan (WG) dan Ariyanto (AR). Adapun suap itu diterima Arief untuk mengatur kasus pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) kepada tiga korporasi, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.

Suap itu diberikan AR dan MS pengacara dari pihak korporasi, melalui WG, supaya putusan perkara ekspor CPO lepas dari segala tuntutan hukum atau istilahnya onslag.
“Penyidik menemukan alat bukti MS dan AR melakukan suap dan gratifikasi kepada MAN diduga sebanyak Rp 60 miliar, di mana pemberian suap tersebut diberikan WG,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Abdul Qohar, Sabtu (12/4/2025) malam.
Dalam sidang putusan, Rabu (19/3/2025), Majelis Hakim PN Tipikor Jakarta menyatakan perbuatan ketiga terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan. Tapi, para hakim menilai perbuatan korporasi itu bukan suatu tindak pidana.

“Penyidik menemukan bukti MS dan AR melakukan tindak pidana suap atau gratifikasi diduga sebanyak Rp60 miliar. Pemberian suap atau gratifikasi diberikan melalui WG selaku Panitera. Pemberian dalam pengurusan dimaksud agar majelis hakim mengurusi putusan onslag,” jelas Qohar.
Atas perbuatan yang disangkakan, WG terancam jerat Pasal 12 huruf a juncto Pasal 12 huruf b jo. Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 11 juncto Pasal 12 huruf B juncto Pasal 18 Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Berikutnya, MS dan AR masing-masing disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 ayat (1), juncto Pasal 13, juncto Pasal 18 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Fakta persidangan
Pada persidangan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (17/2/2025), tiga korporasi besar yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan ekspor ilegal CPO, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group, resmi dituntut membayar denda dan uang pengganti dengan total mencapai Rp17,7 triliun. Jaksa juga menuntut penutupan operasional perusahaan-perusahaan tersebut.
PT Wilmar Group menjadi korporasi dengan tuntutan tertinggi. Jaksa menuntut Wilmar membayar uang pengganti sebesar Rp11,8 triliun yang dibebankan secara proporsional kepada lima perusahaan di bawah grup ini: PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. Selain itu, Wilmar Group juga dituntut membayar denda sebesar Rp1 miliar.
Jika tidak mampu membayar, jaksa menegaskan aset korporasi akan disita dan dilelang. Apabila aset tidak mencukupi, maka harta pribadi direktur perusahaan, Tenang Parulian Sembiring, dapat disita. Dalam skenario terburuk, jika harta pribadi pun tidak mencukupi, Tenang Parulian akan dijatuhi hukuman penjara subsider selama 19 tahun.
Sementara itu, PT Permata Hijau Group dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp937,5 miliar dan denda Rp1 miliar. Adapun PT Musim Mas Group menghadapi tuntutan uang pengganti sebesar Rp4,8 triliun dan denda Rp1 miliar.
Secara keseluruhan, jaksa menuntut tiga korporasi tersebut membayar uang pengganti sebesar Rp17.708.848.928.104 dan denda kumulatif Rp3 miliar. Selain sanksi keuangan, jaksa juga menuntut pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian operasional perusahaan terdakwa selama maksimal satu tahun.
Sumber ; Monitor Indonesia
Editorial ; Achmad SH